Pada tahun 1964, Kasim merupakan salah satu Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang sedang melaksanakan Program Pengerahan Mahasiswa ( sekarang kuliah kerja nyata ) untuk memperkenalkan Panca Usaha Tani era Orde Baru kepada para petani. Pada saat program ini berlangsung, Ratusan Mahasiswa di lemparkan ke seluruh pelosok negeri untuk mengabdi dan Kasim akhirnya terdampar di Waimital, Pulau Seram, Maluku. Seperti mahasiswa lainnya, Kasim dengan giat menunaikan tugas Tri Darma Perguruan Tinggi untuk membantu petani-petani Transmigran selama beberapa bulan dalam mengembangkan daerah pertanian baru.
Hingga pada saatnya pulang ke kampus untuk merampungkan studi. Seluruh teman-teman seperjuangannya telah pulang, namun tidak dengan Kasim. Hati nuraninya menolak untuk pulang, ia masih ingin terus mengabdi kepada masyarakat, membantu masyarakat menyelesaikan masalahnya. Lima Belas tahun lamanya Kasim menghilang dari kemegahan kampus untuk mendampingi perubahan. Bersama-sama para petani ia membuat sebuah ”harapan” untuk orang-orang disana. 15 tahun ia menjadi petani, beralaskan sendal jepit dengan pakaian compang camping, berjalan kaki ratusan kilometer jauhnya, namun ia tetap Kasim, manusia berhati mulia yang dermanya mengalahkan egonya.
Berkali-kali orang tua Kasim memanggilnya untuk pulang namun tidak digubrisnya, bahkan panggilan Rektor IPB saat itu (Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution) tidak dihiraukannya. Ia masih ingin mengabdi dan menjadi petani. Namun bujuk rayu salah seorang sahabatnya akhirnya meluluhkan hatinya untuk pulang dan menerima gelar ”sarjana pertanian istimewa” atas pengabdiannya. Di hari wisudanya, pada 22 September 1979, kasim yang biasa mengenakan ”baju kuli” dan sendal jepit terpaksa menggunakan jas dan sepatu yang membuatnya asing dan ”kegerahan”. Pada hari itu pula, Kasim disambut bak pahlawan yang luar biasa dengan pengabdiannya yang tulus dan belum pernah dilakukan mahasiswa manapun, sehingga Taufiq Ismail yang merupakan sahabatnya merasa malu dan menghadiahkan sebuah puisi yang sangat menyentuh dan menggetarkan hati. Inilah bait demi bait puisi tersebut.
SYAIR UNTUK SEORANG PETANI DARI WAIMITAL, PULAU SERAM, YANG PADA HARI INI PULANG KE ALMAMATERNYA
Darmaga, 22 September1979
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Orang-orang menggali tali air irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilo sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani mengaji
Ayat-ayat alam
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilo sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani mengaji
Ayat-ayat alam
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dikais-kaisnya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-mayur yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dikais-kaisnya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-mayur yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
Terlalu banyak yang dilakukan Kasim disana, meski tanpa kucuran dana dari pemerintah dan pihak manapun. Secara Swadaya kasim telah mendampingi perubahan yang sangat signifikan di Waimital. Ia telah membuat ”harapan” bagi petani untuk hidup dan memberi pencerahan bagi dunia tentang arti dari sebuah kesederhanaan dan kedermawanan.
Saya memang tidak pernah bertemu dan kenal secara langsung dengan sosok pahlawan ini. pertama kali saya membaca kisahnya dalam diktat kuliah Dasar-Dasar Penyuluhan pada semester tiga lalu dan membaca buku penuh kisah heroik yang secara khusus bercerita secara detail dalam ”Seorang Lelaki di Waimital” karangan Hanna Rambe(1983). Sejak saat itu, saya mengidolakan dia, seorang ”mahasiswa” yang benar-benar mahasiswa. Kasim bagi saya adalah seorang ”Guru Kehidupan” yang kualitasnya melebihi Dosen manapun yang pernah saya temui. Ketika menjadi seorang mahasiswa, jelas ia bukanlah mahasiswa ”tipe penjilat” dosen yang gemar mengemis untuk dilibatkan dalam proyek-proyek. Ia bukanlah seorang ”aktivis burut” yang berkoar-koar meminta perubahan namun gagal mendampingi perubahan. Ia bukanlah ”mahasiswa manja” yang bernaung pada kemegahan hedonisme dan ia bukanlah mahasiswa ”asal lulus” yang menyembah gelar dan mati intelektualitas.
Bahkan setelah lulus, Kasim yang ditawari bekerja di berbagai perusahaan bahkan di luar negeri menolak tawaran-tawaran tersebut. Ia lebih memilih kembali ke Waimital dan ”berkarya kembali” disana sebelum menjadi Dosen di Universitas Syiah Kuala, Aceh.
(tulisan ini dipersembahkan untuk Muhammad Kasim Arifin, yang telah memberikan inspirasi bagi saya untuk menjadi seorang penulis),
Terima kasih Pak Kasim
oleh:
Komentar
Posting Komentar