Langsung ke konten utama

Hujan di September...


Gerimis lagi sesore ini. Atau mendung pekat kemarin, lalu berubah menjadi setumpahan air dari langit. Kau bayangkan, akhirnya aku bisa bertanam. Air sawahnya mulai tergenang. Semaian padi di petak kecil, menghijau, membawa harapan dan ia berjanji akan tumbuh dengan baik, sesempurna hamparan permadani emas di seratus hari kemudian.

Sejuk merambat, mengisi pori-pori hati. Cipratan hujan di jendela yang memberat dan perlahan turun, menjadi saksi bisu ketenangan senja bersama kaki-kaki mungil yang melangkah kesana kemari, menyodorkan tawa, menawarkan jasa, merasa bahagia dengan segenggam receh yang ia dapat dari payung merah tua. Terimakasih teruntuk Puan dan Nyonya yang sudah menebarkan cinta.

Pokok-pokok cemara yang mengembun. Dimana dua katup bertemu. Adalah diam yang ia hayati. Melirik ke celah gunung. Ingin mentari bertahta kembali. Dan pelangi hadir menyapa hati. Hati yang sedang dan akan selalu menahan diri. Menunggu hujan, Menunggu rona kembali berwarna. Dari bangku coklat tua, sebuah doa menjelma mega, agar hadir pelengkap terbaik, tangan kirinya tangan kanan, berdua menyambut hujan.

Komentar

  1. senang bisa tersesat di blog ini :) senang bisa baca tulisan-tulisan inspiratif mbak. salam kenal :)

    BalasHapus
  2. waahhh salam kenal juga dek..tadi tersesatnya lewat jalan mana?? :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah dengan IPB? (versi tidak serius)

selasa siang, pukul 13.00 kuliah Ilmu Tanaman Pangan pun dimulai. bu Desta membuka laptopnya dan menjelaskan apa saja tanaman pangan di Indonesia. menarik? tentu saja, buktinya aku gak ngantuk atau mencoba untuk ngantuk. 15 menit. buku-buku mulai berayun konstan, menjadi kipas yang diharap memancarkan udara segar. ruangan yang lumayan besar ini memang penuh berisi orang. tentu saja, tiap-tiap mereka mengeluarkan panas tubuhnya. jadilah, suasana semakin panas. sebenarnya aku yang duduk nomor dua dari depan tidak terlalu merasa gerah, hanya saja, ketika bu Desta mulai angkat suara tentang kondisi ruangan, aku pun jadi ikut gelisah, merasa tak nyaman. 'tolong sebutkan dong, kekurangan apa yang kalian rasakan tentang IPB?' semula, teman-teman yang kurasa udah pada ketiduran spontan menjawab. ada yang bilang,'IPB jauh dari mana-mana bu', 'IPB bangunannya jelek', 'IPB itu kotor bu', 'di IPB susah dapat nilai bagus bu',' kuliah di IPB panas,

12 Februari 2012

Hari ini, 12 Februari 2012. Tepat pukul 9.00 Hp ku berbunyi. Reminder, 'My'...'My' bukan berarti kepunyaanku, ia adalah sebuah nama. Nama yang membuatku iri karna ibadanya. Nama yang membuatku terpacu untuk menyamainya. Nama yang membuatku tenang melihat keanggunannya. Nama yang bergelut dalam ingatanku sebagai sahabat. Tak banyak kata yang dapatku ucap. Tak satupun kado yang dapat ku kirim. Pun peluk hangat tanda bahagia. Hanya doa-doa cinta yang Insyaallah penuh keberkahan untuk dia yang tengah melangkahi umur 19 tahun.Untuk dia yang berlatih menjadi perempuan. Untuk dia yang belajar jadi wanita. Untuk dia, FEBRIA RAHMI..

Perpisahan Embun dan Daun

Sepagi ini, telah ku dengar tangis rerumputan di halaman depan. Ini pasti tentang perpisahan. Lagi-lagi, sang Embun harus melambaikan tangan. Mengucapkan salam. Berlalu seiring waktu, mengantarkan mentari menghangatkan bumi. Sudah kukatakan. Begitulah yang terjadi, berkali-kali, disetiap pagi. Perpisahan Embun dan Daun, pada akhirnya akan berakhir sama. Ketika malam semakin matang, dingin menjalari tiap sudut udara, tetes-tetes air itu menjelma begitu manisnya, menghias ranting, menghias rumput, menghijau bersama daun.  Pertemuan yang singkat, akan segera berakhir, pada kekagumanku yang kesekiankalinya. Tapi tahukah? Meski berpisah adalah kepastian, tapi rumput, daun dan ranting memilih tak bergeming. Mereka terus setia mengeja doa, doa yanga sama dilantunkan setiap harinya. 'Bertemu embun di ujung daun'. Dan kristal pagi itu pun pergi. Maka aku, kembali menyaksikan, tangis pilu rumput di halaman.Ia ikhlas, hanya berharap hari cepat berlalu. Menghitung detik u