Langsung ke konten utama

Sebuah Pertanyaan:Truth or Dare

Permainan Jujur atau Berani, mungkin sudah sering kita lakukan. Dibanyak kesempatan, diacara yang menggembirakan, menjadi ajang seru-seruan. Biasanya, kebanyakan orang akan memilih menjawab dengan jujur sebuah pertanyaan yang dilemparkan daripada memilih kata berani yang nantinya juga berarti berani ambil resiko jika dikerjai (dikerjai secara wajar dan terhormat)
dan kemarin malam, giliran itu jatuh ditangan saya.
ditengah-tengah teman-teman BEM Faperta, saya berdiri. PD aja, yakin, gak akan ada yang berani macam-macam dalam artian mengajukan pertanyaan aneh. Saya memilih Jujur. Ada beberapa orang yang ingin bertanya. Tapi hanya dipilih dua orang. Mirza (Waka BEM A) dan Lusi (Bendum II BEM A). Pertanyaan Mirza ada dua, siapa yang saya benci dan siapa yang paling saya sayangi. Siapa yang saya benci? ntah lah, itu hanya pertanyaan dan jawaban yang absurb. Malam itu saya jawab, saya benci Mirza. Hahaha, saya tidak tau itu jawaban berasal dari mana? Mungkin memang pernah saya merasa tidak nyaman karena Mirza tiba-tiba menghilang tanpa kabar, tanpa alasan. Tapi itu tidak berarti saya benci dia bukan? 
Selanjutnya, Siapa yang saya sayang? Saya jawab, semua putri-putri BEM A yang selalu cantik dan ceria dengan kelembutan dan kesederhanaannya. Sama saja, itu tidak menjawab semuanya. Terlalu mengeneralkan. Benarkah? 
Hingga hari ini, sesungguhnya saya tidak memiliki jawaban. Benci dan sayang itu bagi saya hanya rasa yang kapanpun bisa berubah. Ia terlalu rapuh untuk digenggam. Tidak bisa diikat dengan ikatan mati. Bahkan untuk dua orang yang sudah menikahpun. Untuk tahun kesekian, dilangkah yang kesekian, akhirnya rasa sayang itu berubah benci. Begitupun dua orang yang saling benci. Meski rasa itu telah melekat turun-temurun, hingga saatnya nanti, ia akan seketika berubah. Perasaan itu, katakanlah seperti Lautan. Terlalu dalam untuk di selami, Terlalu luas untuk di jelajahi sendiri. Kadang ia tenang, kadang juga ia bergelombang.

Penanya kedua yaitu Lusi, adikku yang cantik ini memang selalu kreatif dalam bertanya. hmm, agak khawatir. Dan benar saja, Lusi bertanya: Seandainya kakak berada disebuah kapal yang akan karam ditengah lautan, kakak hanya punya 3 pelampung. Sedangkan diatas kapal itu ada semua BPH, Ardy (ketua), Mirza (Waka), saya (sekum I), Fitri (Bendum I), Okta (Sekum II), dan Lusi (Bendum II). Siapa kah yang akan saya selamatkan?
tuing..tuing..tolong saayaaa...pertanyaan itu sudah pernah saya terima dalam sebuah kegiatan dan itu berhubungan dengan kepribadian. Tapi, dalam hal ini, saya tidak bisa memilih. Sungguh. Semuanya begitu berharga. Bahkan, tidak bisa diibaratkan sebuah tubuh yang kadang kala masih bisa saling menggantikan.
Ini bukan tentang  pertanyaan. Ini tentang perasaan. Siapa yang lebih penting dari siapa. Dan terbacalah kalau saya bukan seorang pengambil keputusan yang baik. Saya juga seorang yang egois. Dalam hidup ini, rasanya saya selalu tidak siap kehilangan. Meskipun saya sangat sadar, kalau semua hanya titipan. Dan apa-apa yang saya genggam sekarang nantinya sangat mungkin terlepas, terbang bebas.
Hingga akhirnya, saya menjawab asal: kakak akan ninggalin orang yang darahnya pahit, belum mandi dan kurus karena gak bakal ada hiu yang mau memakannya. Hah, itu jawaban aneh. Tapi biarlah. Karena tidak ada lagi yang bisa saya katakan, akhirnya saya menyerah. DARE.. dan itu berarti saya kena hukuman. Teman--teman meminta saya mengungkapkan puisi. Apa? Dadakan? Ngarang ditempat? Hmm, akhirnya bisa juga. dan sekarang saya lupa, bait puisi yang saya sampaikan..

Tapi malam itu, saya banyak berfikir. Tentang perpisahan. Tentang kehilangan. Tentang perasaan. Tentanng mengikhlaskan..

Keluargaku BEM Faperta Beraksi, terimakasih sudah banyak mengajarkan saya tentang banyak hal..Kalian anugrah yang indah dari Allah..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah dengan IPB? (versi tidak serius)

selasa siang, pukul 13.00 kuliah Ilmu Tanaman Pangan pun dimulai. bu Desta membuka laptopnya dan menjelaskan apa saja tanaman pangan di Indonesia. menarik? tentu saja, buktinya aku gak ngantuk atau mencoba untuk ngantuk. 15 menit. buku-buku mulai berayun konstan, menjadi kipas yang diharap memancarkan udara segar. ruangan yang lumayan besar ini memang penuh berisi orang. tentu saja, tiap-tiap mereka mengeluarkan panas tubuhnya. jadilah, suasana semakin panas. sebenarnya aku yang duduk nomor dua dari depan tidak terlalu merasa gerah, hanya saja, ketika bu Desta mulai angkat suara tentang kondisi ruangan, aku pun jadi ikut gelisah, merasa tak nyaman. 'tolong sebutkan dong, kekurangan apa yang kalian rasakan tentang IPB?' semula, teman-teman yang kurasa udah pada ketiduran spontan menjawab. ada yang bilang,'IPB jauh dari mana-mana bu', 'IPB bangunannya jelek', 'IPB itu kotor bu', 'di IPB susah dapat nilai bagus bu',' kuliah di IPB panas,

12 Februari 2012

Hari ini, 12 Februari 2012. Tepat pukul 9.00 Hp ku berbunyi. Reminder, 'My'...'My' bukan berarti kepunyaanku, ia adalah sebuah nama. Nama yang membuatku iri karna ibadanya. Nama yang membuatku terpacu untuk menyamainya. Nama yang membuatku tenang melihat keanggunannya. Nama yang bergelut dalam ingatanku sebagai sahabat. Tak banyak kata yang dapatku ucap. Tak satupun kado yang dapat ku kirim. Pun peluk hangat tanda bahagia. Hanya doa-doa cinta yang Insyaallah penuh keberkahan untuk dia yang tengah melangkahi umur 19 tahun.Untuk dia yang berlatih menjadi perempuan. Untuk dia yang belajar jadi wanita. Untuk dia, FEBRIA RAHMI..

Perpisahan Embun dan Daun

Sepagi ini, telah ku dengar tangis rerumputan di halaman depan. Ini pasti tentang perpisahan. Lagi-lagi, sang Embun harus melambaikan tangan. Mengucapkan salam. Berlalu seiring waktu, mengantarkan mentari menghangatkan bumi. Sudah kukatakan. Begitulah yang terjadi, berkali-kali, disetiap pagi. Perpisahan Embun dan Daun, pada akhirnya akan berakhir sama. Ketika malam semakin matang, dingin menjalari tiap sudut udara, tetes-tetes air itu menjelma begitu manisnya, menghias ranting, menghias rumput, menghijau bersama daun.  Pertemuan yang singkat, akan segera berakhir, pada kekagumanku yang kesekiankalinya. Tapi tahukah? Meski berpisah adalah kepastian, tapi rumput, daun dan ranting memilih tak bergeming. Mereka terus setia mengeja doa, doa yanga sama dilantunkan setiap harinya. 'Bertemu embun di ujung daun'. Dan kristal pagi itu pun pergi. Maka aku, kembali menyaksikan, tangis pilu rumput di halaman.Ia ikhlas, hanya berharap hari cepat berlalu. Menghitung detik u