Langsung ke konten utama

...Sedetik Saja...

 

Ketika kau menutup mata barang sedetik saja, secara bersamaan terjadi berjuta tragedi di dunia ini.

Dapatkah kau bayangkan, wajah-wajah yang tengah meregang nyawa, sekarat, atau tangis - tangis bingung bayi kecil yang akan berbagi kehidupan denganmu, atau orang-orang yang tengah menangis, tertawa, juga marah menghadapi polemik yang mendera?

Cukup sedetik saja...
Andai semua orang melakukannya, akan ada ratusan juta kepala yang membayangkan, memikirkan, dan merasakan apa yang dialami saudaranya. Bahkan orang-orang yang mereka belum kenal, wajahnya belum pernah dilihat, juga belum pernah bertukar kata atau cerita. Tapi itulah bentuk perhatian paling sederhana yang bisa kau lakukan. akan lebih bermakna, jika kepedulian itu tidak hanya sekedar bayangan, tapi juga aksi nyata, bukti bahwa engkau masih manusia dengan sebuah keistimewaan rasa.

Cukup sedetik saja...
Maka kau akan mengetahui esensi dirimu berada disini. Bukan untuk menumpuk harta, juga bukan untuk menyia-nyiakan kesempatan menghirup udara. Tapi lebih bermakna dari pada itu, merasakan sebuah kebahagiaan, rasa kepuasan dititik terendah kesadaran dirimu. Hingga kau begitu dekat dengan Tuhanmu.

Cukup sedetik saja...
Akan hilang raasa angkuh akan kehidupanmu. Juga kebanggaan atas nyawa yang dititipkan. Pasrah terhadap hatimu. Mengurai simpul-simpul, teka-teki yang mengerubungi hdupmu tentang teman, keluarga bahkan dirimu sendiri.

Cukup sedetik saja, teman...
kan kau lihat indahnya dunia...

Komentar

  1. ah gelo si atika tulisannya galau mulu nih,,,tapi cukup menyentuh...kereen good job...hehehe

    BalasHapus
  2. aih si takbir gaje... muji kok pake kata gelo segala? membingungkan...

    ente juga bie, lanjutin tuh crita hujan itu, tap yang bikin ngakak lagi yee...

    BalasHapus
  3. Ika tulisannya makin lama makin bagus nih..

    "...bukti bahwa engkau masih manusia dengan sebuah keistimewaan rasa."
    >Amy suka bagian ini :)

    Keep spirit on writing, ka :D

    BalasHapus
  4. hmm, mmakasih amoy...tapi tulisan ka tetap gak sebagus ami...
    maaf, kemarin ika mau komen, eh ternyata jaringannya terganggu, (maklum, kartu unlimited, kecepatannya berkurang), jd, ketunda deh ampe sekarang...
    keep spirit too moy... :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah dengan IPB? (versi tidak serius)

selasa siang, pukul 13.00 kuliah Ilmu Tanaman Pangan pun dimulai. bu Desta membuka laptopnya dan menjelaskan apa saja tanaman pangan di Indonesia. menarik? tentu saja, buktinya aku gak ngantuk atau mencoba untuk ngantuk. 15 menit. buku-buku mulai berayun konstan, menjadi kipas yang diharap memancarkan udara segar. ruangan yang lumayan besar ini memang penuh berisi orang. tentu saja, tiap-tiap mereka mengeluarkan panas tubuhnya. jadilah, suasana semakin panas. sebenarnya aku yang duduk nomor dua dari depan tidak terlalu merasa gerah, hanya saja, ketika bu Desta mulai angkat suara tentang kondisi ruangan, aku pun jadi ikut gelisah, merasa tak nyaman. 'tolong sebutkan dong, kekurangan apa yang kalian rasakan tentang IPB?' semula, teman-teman yang kurasa udah pada ketiduran spontan menjawab. ada yang bilang,'IPB jauh dari mana-mana bu', 'IPB bangunannya jelek', 'IPB itu kotor bu', 'di IPB susah dapat nilai bagus bu',' kuliah di IPB panas,

12 Februari 2012

Hari ini, 12 Februari 2012. Tepat pukul 9.00 Hp ku berbunyi. Reminder, 'My'...'My' bukan berarti kepunyaanku, ia adalah sebuah nama. Nama yang membuatku iri karna ibadanya. Nama yang membuatku terpacu untuk menyamainya. Nama yang membuatku tenang melihat keanggunannya. Nama yang bergelut dalam ingatanku sebagai sahabat. Tak banyak kata yang dapatku ucap. Tak satupun kado yang dapat ku kirim. Pun peluk hangat tanda bahagia. Hanya doa-doa cinta yang Insyaallah penuh keberkahan untuk dia yang tengah melangkahi umur 19 tahun.Untuk dia yang berlatih menjadi perempuan. Untuk dia yang belajar jadi wanita. Untuk dia, FEBRIA RAHMI..

Perpisahan Embun dan Daun

Sepagi ini, telah ku dengar tangis rerumputan di halaman depan. Ini pasti tentang perpisahan. Lagi-lagi, sang Embun harus melambaikan tangan. Mengucapkan salam. Berlalu seiring waktu, mengantarkan mentari menghangatkan bumi. Sudah kukatakan. Begitulah yang terjadi, berkali-kali, disetiap pagi. Perpisahan Embun dan Daun, pada akhirnya akan berakhir sama. Ketika malam semakin matang, dingin menjalari tiap sudut udara, tetes-tetes air itu menjelma begitu manisnya, menghias ranting, menghias rumput, menghijau bersama daun.  Pertemuan yang singkat, akan segera berakhir, pada kekagumanku yang kesekiankalinya. Tapi tahukah? Meski berpisah adalah kepastian, tapi rumput, daun dan ranting memilih tak bergeming. Mereka terus setia mengeja doa, doa yanga sama dilantunkan setiap harinya. 'Bertemu embun di ujung daun'. Dan kristal pagi itu pun pergi. Maka aku, kembali menyaksikan, tangis pilu rumput di halaman.Ia ikhlas, hanya berharap hari cepat berlalu. Menghitung detik u