Langsung ke konten utama

sebagai anak sulung, aku...

Menjadi anak paling tua dalam keluarga, nyatanya bukanlah hal yang mudah. terutama untuk mereka yang menyadari arti penting kehadirannya..itu diriku, yang gundah ketika mengerti kalau tingkah, ucapan, kegiatan, cerita hidup dan sebagainya akan menjadi perhatian bagi adik-adikku. umur kami yang hanya terpaut selang dua tahun, membuat aku dan adik-adikku bisa dibilang dekat dan akrab, meski nyatanya peluang untuk bertengkar juga sangat besar. dan selalu, hal yang kecillah yang menjadi pemicu.

sebagai kakak sulung, aku terbiasa mendidik adikku untuk bersikap terbuka. dimulai dengan curhatanku yang selalu menarik bagi mereka, menjadi dongeng pengantar tidur diakhir minggu ketika aku pulang kerumah. dari sana, mereka juga memiliki kebebasan untuk bercerita tentang masalah yang tengah mereka hadapi. baik itu dari segi akademik, sekolah, guru-guru, teman-teman, juga 'someone specialnya mereka. dan kamu tahu apa yang paling membuatku resah dari cerita adik-adikku? yup, cerita tentang mereka yang ditembak, atau mereka yang menyukai temannya. intinya sih cerita cinta. secara egois, aku menganggap adikku masih kecil untuk merasakan hal itu. meski dilain pihak, aku malah curhat tentang perasaanku ke mereka. kadang aku emang terkesan posesif menjaga , terlebih pada adikku yang perempuan. tapi nyatanya, hingga kini mereka cukup paham, dan tak ada seorang pun yang menyeleweng dari aturan.
 alhamdulillah... :)

namun belakangan, aku merasa lalai. ya, mungkin karena berjauahan jarak, juga perbedaan kesibukan, membuat aku dan adik-adikku jarang berkkomunikasi. kini aku tak begiitu tahu perkembangan mereka, kecuali dari cerita-cerita ibu. aku bingung, sungguh bingung,. bagaimana caranya, dengan kondisi seperti ini, aku dapat memantau adik-adikku? jika di telfon, biasanya disana gak ada sinyal, klo lewat FB, mereka jarang sekali OL..

jadi, sebagai anak sulung, aku harus bagaimana?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah dengan IPB? (versi tidak serius)

selasa siang, pukul 13.00 kuliah Ilmu Tanaman Pangan pun dimulai. bu Desta membuka laptopnya dan menjelaskan apa saja tanaman pangan di Indonesia. menarik? tentu saja, buktinya aku gak ngantuk atau mencoba untuk ngantuk. 15 menit. buku-buku mulai berayun konstan, menjadi kipas yang diharap memancarkan udara segar. ruangan yang lumayan besar ini memang penuh berisi orang. tentu saja, tiap-tiap mereka mengeluarkan panas tubuhnya. jadilah, suasana semakin panas. sebenarnya aku yang duduk nomor dua dari depan tidak terlalu merasa gerah, hanya saja, ketika bu Desta mulai angkat suara tentang kondisi ruangan, aku pun jadi ikut gelisah, merasa tak nyaman. 'tolong sebutkan dong, kekurangan apa yang kalian rasakan tentang IPB?' semula, teman-teman yang kurasa udah pada ketiduran spontan menjawab. ada yang bilang,'IPB jauh dari mana-mana bu', 'IPB bangunannya jelek', 'IPB itu kotor bu', 'di IPB susah dapat nilai bagus bu',' kuliah di IPB panas,

12 Februari 2012

Hari ini, 12 Februari 2012. Tepat pukul 9.00 Hp ku berbunyi. Reminder, 'My'...'My' bukan berarti kepunyaanku, ia adalah sebuah nama. Nama yang membuatku iri karna ibadanya. Nama yang membuatku terpacu untuk menyamainya. Nama yang membuatku tenang melihat keanggunannya. Nama yang bergelut dalam ingatanku sebagai sahabat. Tak banyak kata yang dapatku ucap. Tak satupun kado yang dapat ku kirim. Pun peluk hangat tanda bahagia. Hanya doa-doa cinta yang Insyaallah penuh keberkahan untuk dia yang tengah melangkahi umur 19 tahun.Untuk dia yang berlatih menjadi perempuan. Untuk dia yang belajar jadi wanita. Untuk dia, FEBRIA RAHMI..

Perpisahan Embun dan Daun

Sepagi ini, telah ku dengar tangis rerumputan di halaman depan. Ini pasti tentang perpisahan. Lagi-lagi, sang Embun harus melambaikan tangan. Mengucapkan salam. Berlalu seiring waktu, mengantarkan mentari menghangatkan bumi. Sudah kukatakan. Begitulah yang terjadi, berkali-kali, disetiap pagi. Perpisahan Embun dan Daun, pada akhirnya akan berakhir sama. Ketika malam semakin matang, dingin menjalari tiap sudut udara, tetes-tetes air itu menjelma begitu manisnya, menghias ranting, menghias rumput, menghijau bersama daun.  Pertemuan yang singkat, akan segera berakhir, pada kekagumanku yang kesekiankalinya. Tapi tahukah? Meski berpisah adalah kepastian, tapi rumput, daun dan ranting memilih tak bergeming. Mereka terus setia mengeja doa, doa yanga sama dilantunkan setiap harinya. 'Bertemu embun di ujung daun'. Dan kristal pagi itu pun pergi. Maka aku, kembali menyaksikan, tangis pilu rumput di halaman.Ia ikhlas, hanya berharap hari cepat berlalu. Menghitung detik u